WAKTU YANG SALAH







Oleh: Devi Asmindra Milasanty
SMA Negeri 3 Kediri

Entah aku yang berharap atau aku memang tidak patut berharap. Saat itu kau berjalan keluar pintu mungkin mau pulang. Wajahmu bersih bersinar. Mungkin habis sholat.
“Loh Arini belum pulang ya? Nunggu siapa? Tanya Hafis padaku
“Oh … ini nunggu go food … pesen pizza.”
Kulirik dia berjalan menuju bangku di sampingku lalu duduk. Dia menoleh dan tersenyum memandangku.
“Masih lama?”
“Iya, ada apa?” kutatap wajahnya yang bersih  boleh dibilang tampan dan semakin bersinar. Dia tersenyum lagi.
“Kutemani sebentar.” Sambil dia mengambil Hp dari kantong celananya. Dan mulai mengetik sesuatu. Mungkin menjawab whatsapp dari seseorang.
“Oh ….” Aku tertegun dan mencoba menenangkan hatiku yang berdebar.
“Hai, Arini Hafis lagi ngapain?” Sapa Mbak Melati mengagetkanku dan Hafis
“Oh … lagi ngidam pizza mbak.”  jawabku pendek
Hafis menoleh dan bertanya,”kamu hamil?.” Alisnya mengeryit memandangku.
“Hamil … enggaklah kan aku ngidam pizza… memangnya kenapa?” kujawab dan tersipu sedikit malu.
“Ooo kukira kamu hamil … kok kecil gak gendut?” dia berbicara sambil tertawa. Masih terlihat tampan sekali. Huft …. Kuhela nafasku karena merasakan desiran itu lagi.
“Kamu suka liat aku gendut?”
“Suka sich lucu” jawab Hafis sambil tersenyum. Kutautkan alisku dan berlagak marah.
“Sana…. pulang… sana…!” kudorong dorong dia kusuruh pergi. Dia hanya tertawa terbahak-bahak.
“Ya sudahlah … aku pulang dulu” suara Mbak Melati mengagetkan kami berdua. Ternyata Mbak Melati masih ada di sini. Mbak Melati tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku hanya memberi kode isyarat okey dan tersenyum. Sementara Hafis masih tertawa saja. Matanya meyipit terlihat makin tampan.
“Arini… aku masih menunggumu.” Kata Hafis tiba-tiba dan tersenyum memandangku. “Tapi janganlah kau terbebani … buat dirimu senyaman mungkin.”
Lalu Hafis bangkit dari bangku.
“Aku pulang dulu ya … ada janji dengan teman.” Sambil tersenyum dan tidak menunggu jawabanku. Dia berlalu sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan melambaikan tangan juga. Kupandangi punggungnya yang terlihat kekar dan kuat. Andaikan …. Kata hatiku tergantung karena ada suara.
“Mbak Arini pesen go food pizza ya?” Sapa tukang gojek dari pintu
“Eh iya mas saya …”  jawabku seraya bangkit menemuinya dan membayar uangnya.
Aku kembali ke mejaku untuk menyelesaikan tugasku yang belum selesai. Saat sedang menikmati pizza, aku teringat 10 tahun yang lalu saat Hafis pertama kami datang bergabung dengan tim kami. Sejak saat itu, aku memang tertarik tetapi aku sudah menikah dengan Mas Akbar dan memiliki 1 putra. Selama 10 tahun itu aku sudah bekerja bersamanya dalam segala event. Aku tahu apa yang disukainya. Aku tahu apa yang dibencinya. Entah mengapa setiap gerakannya serasa indah dimataku. Tapi aku sadar aku sudah menikah. Aku juga baik baik saja dengan Mas Akbar. Selama menikah dengannya aku tidak pernah disakitinya dalam bentuk apapun. Memang aku menikah dengan Mas Akbar karena sudah mengenal sejak dulu.
Aku hanya nurut saja mengingat Mas Akbar adalah putra dari teman Bapak yang paling dihormati. Jadi selama ini, aku memendam perasaanku pada Hafis. Sampai ada kegiatan outbond di Selorejo.
“Arini, tolong kerjasamanya ya… kita yang menghandle semua kegiatan ini!” Kata Hafis
“Memangnya Mbak Melati kenapa?” Tanyaku pendek sambil menggulung tali raffia untuk bahan kegiatan outbond.
“Anaknya sakit masuk rumah sakit. Nanti kamu bagian acara pas di Hall, ada permainan sedikit kita main role playing ya.” Terang Hafis.
“Oke … ceritanya apa?? Tanyaku dengan harapan ada kegiatan yang ada aku dan Hafis.
“Ande ande lumut… kamu jadi klenting kuningnya…hijaunya Ellen, Merahnya Rosa, dan Yuyu Kangkang Budi.”
Saat pementasan acara ande ande lumut, Hafis sering memegang tanganku. Aku seperti tersengat listrik, apa artinya ini. Saat itu aku gak ngerti. Teleponku pun penuh dengannya. Dimanapun aku selalu bersama Hafis. Akusenang saja karena dia selalu menjagaku. Selalu mengingatkan Sholatku, makanku, dan apapun yang aku lakukan. Sejak saat itu mataku tidak pernah berpaling darinya. Aku tidak mengerti. Saat sarapan saat makan siang dia selalu mengajakku aku tidak paham apa maksudnya tapi aku menikmati saja rasa ini. Meskipun aku tahu rasaku ini salah karena aku sudah bersuami sedangkan dia tidak. Setelah pulang dari Selorejo aku menjadi bingung dengan rasa yang kualami.
“Arini ngopi yuks!” ajak Hafis
“Ya, kemana?” Seperti kerbau dicucuk kemanapun dia pergi aku selalu nurut
Aku tahu aku salah aku tahu ini tidak benar tapi aku selalu ikut saja.
Saat dicafe, dia memesan kopi dan steak lada hitam. Aku hanya minum whitecoffe
“Arini” aku mendongak mendengarkan suaranya.
“Iya” kutatap wajahnya. Didagunya muncul rambut-rambut.
“Aku mau pengakuan.” Hafis diam setelah mengatakan itu.
“Pengakuan apa?”
“Aku … entahlah …” dengan bimbang dia seperti mau menyampaikan sesuatu. Dia usapkan tangannya dimukanya dan rambutnya. Lalu diam memandangku seperti sedang mempertimbangkan.
“Loh …. Bagaimana sich, ada apa?”  tanyaku dengan berdebar mengharapkan hal yang tidak mungkin. Hafis memang lebih muda dariku 3 tahun. Tapi aku melihatnya sangat dewasa dan bisa diandalkan. Apakah dia memiiki perasaan yang sama denganku???
“Aku menyukai mu …” dia menatap mataku tajam
Aku terkejut dan menatapnya tajam … dia menghela nafas dan berkata
“Entah ini rasa suka yang seperti apa aku juga gak tahu” Hafis menggelengkan kepalanya.
Kulepas pandanganku darinya dan kuhembuskan nafasku. Karena aku menyadari kalau memang rasa itu ada aku juga memiliki rasa itu.
“Aku sadar kita tidak bisa bersama, aku sadar kamu sudah menikah, aku gak ada niat menghancurkan pernikahanmu. Aku juga gak tahu kamu memiliki rasa itu atau tidak tapi yang jelas aku memilikinya Berkali kali aku mencoba memikirkannya … tapi gak bisa aku harus mengatakannya.” Terang Hafis
“Aku … aku …gak ngerti apa yang harus kukatakan ….” Aku hanya mengatakan itu saat kewarasanku kembali
“Pernyataan ku tidak perlu jawaban sekarang”  kata Hafis lirih
“Maaf … aku tidak …”. Kugantung kalimatku karena aku juga tidak bisa berkata. Aku memandang Hafis dengan dalam dan berfikir seandainya aku bersamanya.
Gumawo ….” Kataku . Hafis mengeryitkan dahinya. Aku tersenyum
“Artinya  terima kasih … kataku sambil tersenyum geli “ ayoh kita kembali” aku mencoba menetralkan perasaanku saat itu.
“Aku tahu … kamu juga begitu kan? Arini aku tahu kita dalam dilemma”
“Hafis… sudahlah kita jadi teman saja…!” akhirnya aku mengucapkan keberatan. Dia hanya memandangku.
“Aku tahu ….”
“Tahu apa??? Yang kita rasakan itu salah! … kataku sedikit jengkel
“Yang kita rasakan salah??? Berarti kau juga merasakan???” tegas Hafis. Yang membuat aku sadar aku salah kalimat.
“Hafis, tolong jangan mempersulitku dong!”
“Aku tidak mempersulit aku hanya bicara kenyataan.” Pinta Hafis dengan melas seraya memegang tanganku. Sebenarnya aku enggan tapi mau bagaimana lagi aku juga ingin. Akhirnya kutarik tanganku dan aku berdiri.
“Maaf…maafkan aku …. Aku kembali …dulu.” Dengan enggan aku berjalan meninggalkan Hafis sendirian di Café.
Sejak dialog di café itu Hafis sepertinya mencoba menghindariku. Terlebih saat kepala editornya baru dia seperti jarang berkomunikasi denganku. Hanya sesaat Tanya kabar jika terpaksa bertemu. Aku tidak mau disalahkan aku tidak mau kehilangan rasa ini juga. Saat itu Hafis ditugaskan ke Surabaya selama 2 tahun. Setelah itu kami berkomunikasi saja lewat Hp. Tapi aku selalu mencoba netral disetiap percakapan kami. Aku tidak ingin hubunganku yang baik dengan suamiku juga hancur, dan hubunganku dengan Hafis juag baik baik saja. Setiap saat aku selalu berharap WA maupun telp dari Hafis. Mendengar suaranya kadang kala sangat indah.
Tapi takdir berkata lain, 5 tahun yang lalu Mas Akbar sakit keras paru parunya ada luka dan tidak bisa bertahan lama. Malam itu saat hujan turun gerimis, aku termangu membaca pesan dari Hafis. Aku tersenyum dan saat itu aku tidak tahu kalau Mas Akbar melihatnya.
“Siapa? Sepertinya menyenangkan, kamu jenuh menungguku?” Tanya Mas Akbar membuka lamunanku.
“Dari Hafis mas, dia cerita repotnya musuh editor tua …” aku tersenyum sambil bercerita. Sebenarnya aku sering menceritakan kegiatanku bersama Hafis ke Mas Akbar. Karena aku ingin Mas Akbar percaya bahwa aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Hafis.
“Sebenarnya, aku membaca beberapa Wa mu 4 hari yang lalu, maaf” terang Mas Akbar yang membuatku terkejut. Aku berharap mas Akbar tidak menemukan sesuatu yang membuatnya mencurigakan. Karena selama ini aku selalu menjaga perasaanku sendiri dan hanya Tuhan yang tahu.
Mas Akbar tersenyum, terlihat guratan dimatanya dan kantong yang membuat dia lebih tua dariku. Padahal sebenarnya kami satu angkatan saat kuliah.
“Jika aku tidak bisa menjagamu selamanya, carilah penjaga yang lebih baik dariku” pinta mas Akbar sambil memegang tanganku.
“Sttt… jangan berkata seperti itu, mas aka nada menjagaku dan Putra, berjanji ya?” ucapku sedikit merengek agar dia semangat lagi. Meskipun aku tahu dan sama sama tahu kalau sakitnya tidak dapat disembuhkan. Tapi haruskah aku menyerah.
“Hafis, anak yang baik, dia bisa jadi imam juga”
“Mas…. Jangan bicara yang aneh-aneh… sudah lah”
“Sebenarnya aku tahu, perasaanmu padaku hanya sekedar hormat. Tapi saat dengan Hafis , kau jadi lain”
“Sudahlah mas, jangan mengarang, aku ada buatmu… mas ada buatku … segera sembuh kok… ya … ya …”
“Kamu masih muda… jangan terpancang dengan masalalu”
“Mas… apa apan sich … jangan ngawur….” Kupeluk mas Akbar dengan menangis. Dia hanya menepuk pundakku.
“Mas akan sembuh…mas akan sembuh….” Isakku didadanya
“Iya … iya …” dia mencium keningku dan mengusap airmataku.suasana menjadi hening. Baru aku menyadari kalau susara hujan berubah sunyi dan hening. Kutoleh mas Akbar, yang tersenyum dan terlihat putih …. Dan semakin putih.
“Mas …. Mas ….” Aku guncang tubuhnya. Tapi tak bereaksi. Aku berlari keluar memanggil perawat. Semua perawat dengan sigap memasang alat alat membantu mas Akbar bernafas kembali. Aku hanya terduduk dan berdoa, semoga diberi yang terbaik. Air mataku mengalir tanpa henti.
“Ibu … tolong ….telepon keluarga yang lain … dan sabar ya” salah satu suster menepuk pundakku. Tangisanku tidak bisa kubendung lagi. Aku pasrah dengan apa yang terjadi. Ceritaku dengan mas Akbar berakhir disini. Aku hanya melangkah gontai memeluk Putra seorang diri. dalam hatiku berfikir aku bisa … aku bisa. Saat itu hatiku sedih dan terpaku hanya untuk mas Akbar dan aku berharap hatiku tetap teguh padanya. Selama itu aku hanya konsentrasi memenuhi kebutuhanku dan Putra. Bahkan nama Hafis lama lama memudar. Aku tahu dia selalu kirim pesan tapi tidak pernah ku balas. Aku berharap Tuhan ikut campur dengan menata hatiku pada yang terbaik. melepaskan perasaanku juga pada Hafis dengan cara yang Indah.
 Tiga tahun berlalu dan Hafis sudah kembali. Tapi aku tidak berani bertanya atau berkata saat bertemu dengannya. Karena aku menjaga hatiku untuk mas Akbar. Aku tidak mau berkhianat. Aku merasakan kalau dia selalu memperhatikanku. Kadang aku bertanya kemana perasaanku itu dulu. Rasanya sudah hilang. Waktu aku mau ke toilet dan melewati mejanya dia memanggilku.
“ Arini … aku ingin bicara denganmu. Kutunggu diatap” ajak Hafis
Aku menoleh dan mengiyakan saja…. Aku ikuti dia berjalan ke atap dan duduk didekat  pagar taman di atap. Dia duduk dibangku depanku. Lalu dia menaruh bekal yang dibawa.
“Ayo makan” dia mengulurkan roti boy yang kusukai. Dengan enggan aku mengambil roti dan memakannya.
“Aku ikut bela sungkawa atas kematian Mas Akbar ya, maaf” dia menatap lekat mataku seolah dia merasakan apa yang kurasakan. Aku menoleh saja dan mengangguk
Gumawo diatersenyum sekilas karena kebiasaanku yang selalu memakai bahasa Korea.
“Aku tidak tahu. Sakit apa mas Akbar???” tanyanya kemudian sambil menyesap minumannya.
“Paru-paru” jawabku pendek dengan mata berkaca-kaca. Aku teringat mas Akbar.
“Apa rencanamu ke depan untukmu untuk Putra?”
“Aku … hanya mengikuti saja kemana Tuhan memberi jalan yang terbaik. Aku sadar aku bukan siapa-siapa. Aku hanya memikirkan Putra saja.”
“Hemmm… Perasaanku masih sama … bolehkah? Bukan berarti aku mengharapkan hal terburuk pada mas Akbar” aku hanya mengelengkan kepalaku. Karena memang tidak tahu apa yang harus aku jawab.
“Bolehkah aku mengisinya???” Tanya Hafis lagi
Aku menoleh dan terkejut. Haruskah dia membahasnya disini.Pantaskah aku memikirkan itu. Meskipun ini sudah 3 tahun berlalu. Apakah aku harus menerimanaya dan menghianati mas Akbar?
“Entahlah … aku belum berfikir kearah sana”
“Aku tahu seperti apa yang akan kau hadapi…… kamu hebat sudah kuat selama ini ….Aku tetap menunggumu ….”
“Hafis……jangan seperti ini dong! … aku senang kamu kembali… aku senang bisa melihatmu lagi tapi hanya sebatas itu.”
“Aku yakin”
“Bukan …. bukan… seperti itu…. aku tidak mau melakukan yang tidak disetujui Putra tapi saat ini aku juga belum memikirkannya…”
“Aku akan tetap menunggumu”
Aku hanya diam dan memandang Hafis. Lalu aku berdiri dan berlalu dari atap. Meninggalkan Hafis yang memandangku dari belakang punggungku.
Setelah percakapan di atap itu perhatian Hafis padaku lebih entah hanya membawakan roti membawakan kopi atau apalah. Kadang aku berfikir apakah dia memang menyukaiku segitunya padahal dia masih muda dan banyak orang yang menyukainya. Aku tidak bisa menolak kebaikan dan perhatiannya. Meskipun kadang aku juga merasakan dia curi-curi pandang padaku. Disisi lain aku senang tapi disisi ini aku bimbang.
“Kring… kring….kring…” suara telepon kantor membuyarkan lamunanku. Aku segera mengambil  telepon dimeja Mbak Melati.
“Hallo selamat sore…” jawabku ditelepon
“Arini…..”  suara mbak Melati gementar lirih dan terisak
“Ada apa mbak?” Tanyaku kalut juga. Apa yang terjadi dengan Mbak Melati
“Arini….Hafis … Hafis …..” suara Mbak Melati terdengar semakin gementar.
“Iya…”
“Hafis kecelakaan … aku sekarang di UGD.” bagai disambar petir aku termangu. Kulatakkan gagang telepon dan berlari menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, aku melihat mbak Melati bersandar ditembok diam membeku. Kulihat Budi dan Seno jalan kesana kemari mengurus sesuatu. Sementara didepan Mbak Melati ada seseorang yang ditutup kain putih. Aku berjalan pelan mendekati mbak melati. Lalu mabk melati menoleh dan menungguku dengan air mata penuh.
“Apa mbak… apa mbak yang terjadi?” sedikit bingung aku memandang dan memeluk mbak Melati.
“Arini… Hafis … Hafis… “ sambil menunjuk ketempat tidur didepannya…. Aku menoleh dan terpaku saat salah satu petugas polisi membuka wajahnya untuk identifikasi… Kakiku serasa lemah dan luruh. Aku menyadari airmataku memenuhi mataku yang semakin kabur memandang siapa yg ditutupi kain putih. Aku dipeluk oleh Mbak Melati. Sementara Hafis, terbujur kaku. Dengan lirih aku berguman, “Aku mencintaimu, aku mau sama kamu Hafis…. Aku mencintaimu … bangun … bangunlah … jangan melakukan ini padaku” aku tidak bisa berteriak hanya airmata yang mengaliri  mataku.
Saat di pemakaman aku mencoba tegar. Mengantarkan orang  yang pernah mengisi hatiku. Sambil berjalan aku berguman “ apakah ini memang takdirku dengan Hafis? Semua sudah tidak bisa dikembalikan. Semua sudah selesai. Semoga kau berada disisiNya.”
Terdengar lirih lagu Fiersa Besari “Bukan maksud hatiku menyakitimu… namuntak mudah tuk melupakan… cerita panjang yang pernah aku lalui tolong yakinkan saja ragaku….beri kisah kita sedikit waktu …. semesta mengirim dirimu untukku … kita adalah rasa yang tepat diwaktu yang salah ….”


-------***********-------


Komentar

  1. Merajut Asa di Montana bersamaku

    BalasHapus
  2. Cerita yang bagus untuk didiskusikan di kelas pra nikah bagi siswa SMA. Contoh isu, apakah memang benar bahwa waktu yang salah? Jawabannya dapat diulas dengan menggunakan kajian pendekatan konseling realitas maupun REBT. Misal, idealnya tidak ada yang salah mengingat yang paling penting adalah menerima semuanya, baik emosi (cinta) dalam diri maupun keberadaan orang lain. Hal pentingnya adalah cara memperlakukan dan membuat kontrol yang adaptif atas semua itu.
    Apakah hal yang aneh jika emosi cinta muncul padahal seseorang sudah memiliki pasangan. Ini bisa menjadi isu lain yang layak dibahas. Oleh karena manusia selalu memiliki kebutuhan, unfinished business, expectation, transferensi dan seterusnya maka dia akan selalu memiliki potensi untuk mencintai yang lain, termasuk melihat rumput tetangga lebih hijau. Namun, sebagai manusia kita pun diberi kemampuan mengontrol emosi itu melalui kemampuan rasional kita sehingga meski ada emosi cinta kita masih bisa memilih untuk mengembangkan perilaku yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dan matang.

    BalasHapus
  3. nangis deh gue... sad ending abixxx

    BalasHapus
  4. Sad ending... 😢😭😭😭 dikira mau jadi sama hafiz ternyata malah meninggal juga 😭😭😭

    BalasHapus
  5. Duh suka ga kuat nih dengan ujung cerita sad ending

    BalasHapus
  6. Endingnyaaa kok sediihhh T_T

    BalasHapus
  7. G bareng sama dua"nya..
    Yg semangat, Arini

    BalasHapus
  8. Huhhuhu.. cerita mengandung bawang merah

    BalasHapus
  9. wah..ini sudah dibukukan ya Kak...kereen ceritanya.

    BalasHapus
  10. Sedih endingnya kak ... Kenapa semua yang dicintai Arini pergi?

    BalasHapus

Posting Komentar