CINTA YANG DIPERJUANGKAN

 

                                sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/659777414139451966/?d=t&mt=login

Aku mengenal beliau … saat pertama kali membuat laporan keuangan bantuan siswa. IBu Siti salah satu tim untuk mengelola keungan bantuan siswa di sekolahnya. Tapi sebenarnya aku sudah mengenalnya sejak SMA karena Bu Siti bekerja di sekolahku dulu sebagai Staf Tata Usaha.

“Bu Siti,” panggilku

“Dalem Nduk, siapa ya?” Kata Bu Siti mengeryitkan dahinya mengingatku.

“Saya alumni SMA 1 bu,”

“Oalah… angkatene siapa???” Tanya Bu Siti.

“Dian ndaru bu … ketua Osis nya SI Zaky itu loh bu ….,” kataku menceritakan teman seangkatanku yang memang gokil habis …. Sehingga semua orang pasti mengenalnya.

“Oalah … bagaimana nduk, sekarang kamu kerja dimana???”

“Saya jadi guru bu … di SMA Kartika.”

“Alhamdulillah … guru apa nduk???”

“Guru BK bu ...”

“Bu Siti masih di TU???”

“Iya nduk mau kemana tow??? Sekarang mengerjakan laporan ini???,” terang Bu Siti dengan ceria. Memang Bu Siti selalu tersenyum kepada siapa saja.

Itu sekilas pertemuanku dengan Bu Siti salah satu staf karyawan SMA 1. Sejak saat itu beliau selalu menyapa dulu.

“Mbak Luna!”

“Eh Bu Siti … iya bu,” sapaku sembari mencium tangan beliau,

“Bagaimana laporanmu  apakah sudah betul???”

“Masih revisi bu kataku sambil mengedipkan bahu… mengingat sudah 3 kali bolak balik terus. Entah apa mau dari tim di diknas ini,” keluhku mengingat aku sudah 4 kali bolak balik juga.

“Punyaku juga mbak… saya juga bingung diapakan … katanya kuintansinya belum sesuai… padahal sudah mengikuti aturannya loh, wis mbak … seperti ini biasa … saya bolak balik biasa,” katanya sambil tersenyum

Sesekali kami membeli minum di kantin diknas untuk menunggu panggilan…

Bu Siti menceritakan tentang anak-anaknya dan cucu-cucunya. Usia Bu Siti saat itu sudah 57 tahun… selain beliau yang mengurusi laporan bantuan siswa hanya 2 orang Bu Siti dan Bapak Ramlan dari SMA Brawijaya. Namun Bapak Ramlan ini tidak mengerjakan sendiri ada asistennya. Sementara yang lainnya itu para operator dengan usia rata-rata 30-35 th. Termasuk diriku saat itu masih 34 tahun.

Setelah beberapa waktu aku tidak pernah bertemu Bu Siti lagi. Karena sekarang bantuan siswa langsung diberikan ke siswa melalui Bank. Terakhir berita yang kudengar Bu Siti sudah pensiun dan digantikan seorang pegawai tidak tetap yang tidak kuketahui namanya.

                        ****

PART 2

Sore itu seperti biasa aku mengantar anakku mengaji di TPA AL-Ikhlas dan menjemputnya dijam 16.00. Aku menunggu anakku keluar didekat pos satpam gedung Al-Ikhlas. Aku memandang seseorang memakai sepedah montor Honda Grand yang parkir tidak jauh dari tempat aku menunggu juga. Loh itu seperti Bu Siti benarkah … lalu aku dekati Beliau

“Bu Siti,” sapaku … dan tersenyum. Beliau menoleh dan memandangku … sesaat kemudian tersenyum.

“Loh Mbak Luna … kok disini?”  Sapa Beliau hangat. Lalu aku menyalaminya dan mencium tangannya.

“Iya Bu Siti, anak-anak ngaji disini bu,” Terangku … “Bu Siti menjemput siapa???”

“Menjemput cucuku nak … anaknya nomor 2 … si Devan,” terang beliau dengan mata sedikit menerawang…

Aku ingat waktu Bu Siti menceritakan tentang putra ragilnya yang bernama Devan. Sejak kecil Devan selalu membuat Bu Siti mengeluh… karena sejak SD sampai SMA Bu Siti sering dipanggil ke sekolah karena Devan sering tidak masuk sekolah. Kalau dirumah selalu minta makan ayam tidak mau makan apa yang ada dimeja makan. Meminta apapun harus segera dituruti. Selama ini Bu Siti selalu menuruti keinginan putra keduanya itu.

“Buk … Ibuk … kok diam saja,” sapaku sambil memegang pundaknya.

“Oh … Mbak Luna … tidak apa-apa kok,” kata Bu Siti sambil tersenyum

“Ayo bu beli minum dikantin situ sambil nunggu anak-anak!” kataku mengajak bu siti ke tempat warung pak Ulik. Bu Siti tersenyum dan ikut saja.

Di warung pak Ulik , Bu Siti menceritakan bahwa anaknya Devan itu sudah menikah 2 kali … dan cucu yang sekarang dijemput adalah cucu dari istri yang tidak sah dari Devan. Karena sebuah kecelakaan Devan berselingkuh dengan teman sekantornya sampai memiliki anak usia 1 tahun dan istri sahnya tidak mengetahui. Saat mengijak 1,5 tahun usia si anak, istri sahnya baru mengetahui dan marah. Tetapi Devan tidak mau menceraikan istri pertamanya. Entah takdir yang mempermainkan Devan, selingkuhannya meninggal karena sakit jantung. Karena tidak mungkin membawa anaknya maka anaknya dititipkan ke Bu Siti. Dan Bu Siti pun menyetujui karena bagaimanapun juga anak itu cucunya. Aku hanya menghela nafas mendengar ceritanya.

            “Sekarang … ibu hanya hidup berdua dengannya… seperti punya momongan lagi,” kata Bu Siti dengan tersenyum simpul. Aku hanya tersenyum juga. Sebuah beban bisa berkurang jika diceritan kepada orang lain.

            “Yang ti … yang ti … ,” satu anak kecil usia 5 tahun berlari-lari mendekati Bu Siti dan memeluknya. Bu Siti juga memeluk dan tersenyum.

            “Salim dulu ya nak … ini tante Luna teman Yangti,” Akupun tersenyum dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman.

            “Aduh bagusnya … siapa namanya ya ???,” tanyaku dengan tersenyum.

            “Bagus”

            “Bagus… wah memang bagus banget loh … Ngajinya lancar kan?,” tanyaku sambil mengelus pundaknya.           

            “Alhamdulillah mbak … sekarang sudah Iqro’ 4 …” terang Bu Siti.

Lalu anak-anakku … Mida dan Azza datang… dan memandang Bagus karena memang tidak mengenal mereka.

            “Ayo nak salim dengan Bu Siti dan Bagus … ,” kataku kepada anak-anak. Lalu mereka bersalaman dan akupun pamit untuk pergi dulu.

Semenjak saat itu … aku jarang sekali bertemu dengan Bu Siti karena tidak seperti biasa aku bisa menjemput anak-anak.

***

 

 

PART 3

Selang 2 tahun waktu aku dolan ke Sekolahku SMA. Aku mendengar kalau Bu Siti mengidap sakit dibagian perut yang tidak jelas apa. Dan sejak saat itu bu Siti mengalami kelumpuhan dan tidak bisa berjalan. Akupun menjenguk kerumahnya Bu Siti bersama dengan rekan-rekan alumni yang lainnya.

            “Tok … Tok …Tok …”

            Selang beberapa saat kami dipersilahkan duduk oleh seeorang yang membukakan pintu di rumah Bu Siti dan ternyata adalah adik Bu Siti yang ikut dirumah Beliau karena keterbelakangan mental … tetapi masih bisa diajak komunikasi hanya perilakunya seperti anak kecil. Lalu kami masuk kerunag tamu yang hanya selebar 4 X 4 dan ternyata disitu juga ada TV dan Dipan yang ditempati Bu Siti.

            “Bu Siti” kami semua bersalaman satu-persatu dengan pandangan prihatin dengan Beliau. Beliau tersenyum sambil membetulkan duduknya.

            “Kok … pada main kesini … Ada apa ?,” kata Beliau dan tak lupa tersenyumnya.

            Kami kemarin ke sekolah bu… lalu dikabari ibuk sakit … maka kami segera kesini,” kata Fitra Ketua Kelasku dulu.

            “Walah … kok repot-repot tow nak? Wong Ibuk cuman gak bisa jalan”

            “Tidak bu… kami memangs etiap tahun ada program untuk mengunjungi pensiunan Guru ataupun karyawan … maka dari itu kami dolan kesini.”

            “Iya wis … Ibuk seneng didolani … tapi yach … beginilah kondisi rumah Ibuk … berantakan …”

            “Tidak apa-apa bu ….” Jawab kami hampir bersamaan.

            “Bagus kemana bu?” tanyaku sesaat ingat ada 1 cucu yang tinggal dengan beliau. Dan seharusnya ini jam-jam di rumah.

            “Oalah mbak Luna … Bagus sekarang tinggal dengan budenya dari ibuknya… katanya hak asuh dipegang sama keluarga dari ibuknya Bagus … lah iyow si devan tak beritahu … ya biarlah … begitu e nak..” cerita Bu Siti membuatku kaget … karena semua yang mengurusi bu Siti kok setelah besar diambil oleh keluarganya…

            “Saya ikhlas mbak Luna … kalau memang itu demi kebahagiaannya dari Bagus,” Kata Bu Siti Lagi.

            “Iya bu … sekarang apa yang dirasakan Ibuk kok sakit seperti ini bagaiman ceritanya?” Tanya Ipang yangs ejak tadi penasaran dengan apa yang dialami Bu Siti.

            “Entalah nak, Ibu juga tidak mengerti … waktu itu ibuk sakit perut bagian bawah dan sering pendarahan … setelah diperiksa kok ternyata ada tumor disaluran telur … pemikiran ibuk kan dioperasi saja biar hilang penyakitnya. Namun setelah dioperasi setelah 2 bulan kaki Ibu kok rasanya lemah dan sekarang seprti ini. Kata dokter sich … sendi-sendi saya ada pengeroposan.”

            “Pengobatannya bagaimana bu …???” Tanya Tania

            “Yach tetap ikut diaskes itu … manut saja … “

            Setelah itu Bu Siti menceritakan bagaiman perkembangan sakit yang diderita itu sampai sekarang. Dan Beliau bersyukur bahwa Beliau masih diberi kesehatan . ada adik yang menemani, punya tempat tinggal yang masih layak huni untuk 2 orang. Kami sebenarnya treyuh melihat rumah yang ditempati oleh Bu Siti. Oh ya Suami bu Siti bukan pegawai tetapi hanya pedagang pracangan dirumah. Namun sejak Suami beliau meninggal Bu Siti hanya bisa mengandalkan gaji darinya untuk menghidupi 2 anak yang saat itu masih menduduki tingkat SD.

            Setelah mendengarkan kisah Bu Siti panjang lebar, kami mohon pamit dan tak lupa memberikan kenang-kenangan berupa uang dari dana yang kami kumpulkan. Beliau sebenarnya tidak bersedia tetapi karena kami paksa akhirnya diterima dan juga berupa buah-buah dan kue kaleng ynag kami bawa secara pribadi.

            Dalam perjalanan pulang aku berfikir… betapa perjuanganBu Siti dalam menghadapi kehidupanya dengan selalu tersenyum dan membuat disekelilingnya sering tidak tahu kalau Beliau memendam kesedihan. Ternyata anak pertama Bu siti seorang perempuan dan menikah dengan orang Kalimantan yang jauh seklai. Sementara Putra keduanya, Devan tinggal di Jakarta. Ibu Siti tidak mau ikut putra putrinya dikarenakan punya adik yang perlu dirawat sejak kecil. Bu Siti tidak mau merepotkan anak-anaknya.

            Semoga perjalanan hidup Bu Siti bisa menginspirasi bagi semua bahwa hidup itu tidak perlu takut karena apapun yang dilakukan sudah digariskan. Jangan lupa bersyukur dan tersenyumlah pada dunia maka dunia akan tersenyum pula padamu.

Komentar

  1. Yaa Allah... terharu baca ini...
    Sungguh ketulusan dan senyum ketabahan yang diperlihatkan kepada dunia. Betapa langkanya seseorang seperti beliau ini.

    Juga,dengan segala keadaan yang ada tetap ikhlas membantu orang lain. Tentu sisi spiritualnya tak perlu ditanyakan lagi.

    Terimakasih, Kak. Betapa pesan dari kisah ini begitu mendalam. Semoga kita bisa meneladani akhlak beliau. Aaamin

    BalasHapus
  2. Yaa Allah... terharu baca ini...
    Sungguh ketulusan dan senyum ketabahan yang diperlihatkan kepada dunia. Betapa langkanya seseorang seperti beliau ini.

    Juga,dengan segala keadaan yang ada tetap ikhlas membantu orang lain. Tentu sisi spiritualnya tak perlu ditanyakan lagi.

    Terimakasih, Kak. Betapa pesan dari kisah ini begitu mendalam. Semoga kita bisa meneladani akhlak beliau. Aaamin

    BalasHapus

Posting Komentar