AKU CEMBURU
Part
2
”Arini, bagaimana
kemarin kamu gak kehujanan?”, tanya Fahri.
“Sedikit sich badan
jadi agak mriang rasanya”
“Oh …”
“Kemarin kamu bawa
payung? Aku kok gak liat pas di halte?,” tanyaku sambil tetap mengerjakan
pekerjaanku.
“Kemarin ada Ayyin bawa
aku bareng sama dia,” Deg … jantungku bergetar halus merasakan rasa yang aneh
dalam dada.
“Yang aku katakan kemarin
tolong jangan dibahas ya …,” kata Fahri berbisik di belakangku, dan berhasil
membuat aku terkejut sekaligus kecewa.
“Beres bos,” kataku
sambil mengacungkan jempolku. Fahri tersenyum dan kembali ke mejanya. Aku merasa
ada yang melihatku, kulirik kearah depan meja Ayyin. Dia menatap Fahri dengan
intens, lalu kulihat Fahri tersenyum diliat oleh Ayyin. Apa-apaan sich mereka
bikin kesel sekaligus gemes.
“Ting”
“Nanti siang makan
bareng ya” Chat dari Pram.
“Ok”
Pesan dari Pram membuyarkan adegan spay
ku menatap 2 orang yang membuatku kesal. Tapi kenapa Pram mengajakku makan ya.
Ach sudahlah mungkin dia lagi pengen ketemu di kantin.
Pukul 13.00 waktu ke kantin, aku
berjalan ke Kantin dan kudapati Pram sudah duduk di sudut.
“Sudah pesan makan
apa?,” tanyaku sambil duduk.
“Belum, kmau mau apa
kupesankan sekalian?”
“Siomay dan teh anget
ya, tanpa gula”
“Ok, sayang”
“Hei, apa yang kau katakan”
Pram hanya tersenyum dan pergi memesan makanan.
“Oh ya ini jaketmu,
sudah kucuci,” kataku sambil menyodorkan tas kecil berisi jaketnya Pram yang
sudah kubawa sejak pagi.
“Oh cepat sekali
loundryanmu?” kata Pram sambil tertawa.
“Iyalah …kamu pesan
apa?”
“Sama denganmu tanpa
sambel,” kata Pram menjelaskan dengan gembira.
“Rin,” panggil Pram
sambil mengusap tengkuknya. Duch dia mau ngomong apa sich.
“Apa sich … ayo
ngomong!” kataku memprovokasi.
“Kita balikan yuks!”
Jeder… seperti petir disiang bolong. Apa maksudnya balikan? Menjadi pacarnya
atau kekasihnya lagi?
“Sudahlah kita nyaman
seperti ini berteman saja … kalau kamu seperti itu membuatku semakin canggung
loh,” terangku blak-blakan tentang apa yang kurasa. Karena memang tidak nyaman
rasanya, namun sejak kami putus kami tetap menjalin hubungan hanya berkurang
saja untuk acara menonton atau ke kafe. Yach aku memang pacaran sekedar begitu
saja, ada teman nonton dan ngopi. Orang
yang kuinginkan bukan dia, dan aku tidak tega kalau terus berbohong.
“Rin, aku tidak tahu
aku masih ada rasa atau tidak … yang jelas aku merasa nyaman denganmu, kamu
orangnya pengertian,” kata Pram sambil mengusap tangannya.
“Dan terima kasih juga
Rin kamu tetap mau berbicara denganku.” Bibi Kantin datang mengantar pesanan
kami.
“Makan dulu saja, Pram,
keburu habis waktu rehatnya,” kataku sambil menata pesanan ke mejanya.
“Tapi tolong Arini,
pertimbangkan lagi … aku akan berusaha kok,” kata pram menjelasakn apa yang
akan diperbuatnya. Padahal masalahnya bukan di dia tapi dihatiku yang bukan
untuknya. Aku tersenyum dan mengajaknya makan dulu karena aku sudah lapar
sekali. Kami makan begitu sja tanpa ada perbincangan yang berarti. Stelah itu
pembayaran dilakuakn oleh Pram, dan aku tidak diijinkan membayar. Sebenarnya aku
gak enak tapi mau bagaimana lagi. Kami berpisah ditangga bawah karena divisiku
tidak sama dengan Pram. Aku kembali naik saat mau masuk ruangan, pintu ruangan
dibuka dan tampaklah wajah mbak Jihan, istri Fahri.
“Mbak Jihan,” sapaku
dan kulihat mbak Jihan juga terkejut. Dia memandangku sedetik lalu tersenyum
sinis padaku. Iya sinis sich … mengapa ya? Lalu Mbak Jihan mendekatiku.
“Aku gak menyangka Dik,
kamu berani melakukan ini terhadapku,” Kata mbak Jihan tajam.
“Apa mbak maksudnya?,”
kataku bingung dengan perubahan wajah Mbak Jihan. Memang aku dan mbak Jihan
tidak terlalu akrab namun aku mengenalnya karena dia istrinya Fahri dan aku
menghormatinya sich. Meskipun pernah terbesit merebut Fahri darinya, aku tidak
akan berbuat konyol seperti itu. Aku dekat dengan Fahri saja sudah senang.
Fahri selalu menceritakan masalahnya dengan mbak Jihan, namun bukan berarti aku
akan menyebarkan masalahnya. Tetapi mengapa Mbak Jihan terlihat marah denganku,
apa yang terjadi di dalam ruangan tadi ya??? Aku berfikir dan mulai menduga yang
terjadi. Mbak Jihan berjalan mendekatiku lalu berbisik lirih.
“Pelakor, pelakor …
pengkhianat … ,” Kata Mbak Jihan sambil berlalu dari hadapanku yang masih
melongo mendengar sebutan itu dan tidak percaya dengan apa yang disampaikan
mbak Jihan. Apa yang dikatakan Mbak Jihan membuat hatiku sakit sekaligus
bingung. Seebnarnya apa yang terjadi dan mengapa hubungan baik ini berubah
sekejap.
“Tung ….” Mulutku dibekap
seseorang dan ditarik masuk ruangan saat aku mau mengejar mbak Jihan.
Komentar
Posting Komentar