MENGULAS CERPEN "SEPARUH JALAN MENUJU ELISIAN"

sumber foto: Ngodop.com

 Mengulas Cerpen merupakan tugas dari komunitas ODOP (One Day One Post) Batch 8 pekan ke 6. Didalam kegiatan komunitas memang ada tantangan untuk membuat tulisan mulai tentang alasan mengapa ikut kegiatan ODOP, review 2 buah film (Tilik dan Cream), membuat autobiografi, membuat artikel tentang tips dan trik, membuat fiksi mini dan yang terakhir mengulas cerpen. Untuk kegiatan mengulas Cerpen ini diminta memilih dilaman https://www.ngodop.com. Dikarenakan bukan lulusan kebahasaan maka perlu bantuan teman yang bisa membantu. Jadilah terpilih cerpen dari Uncle Ik yaitu di link berikut ini: https://www.ngodop.com/2020/07/separuh-jalan-menuju-elisian.html

Sinopsis “SEPARUH JALAN MENUJU ELISIAN”

    “Bagaimana, Nak? Sudah kamu putuskan?” tanya lelaki itu. Lelaki yang baru saja kutemui beberapa menit yang lalu. Lelaki asing yang ramah, dengan jas berwarna coklat usang yang kedodoran dipadu dengan topi koboi tinggi.

Aku hanya menggeleng sambil terus memperhatikan ujung jempol kakiku yang nakal menerobos sepatu kanvas tua yang sudah kekecilan ini.

     Lelaki—yang kutaksir tingginya lebih dari seratus sembilan puluh senti—itu berjongkok, matanya lekat menatap mataku. Tatapan mata yang hampa, bukan, tapi lebih mendekati tatapan yang memiliki makna tak terbatas. Tatapan hangat, ada sedikit terselip kelicikan dan juga tatapan selidik yang ditingkahi tatapan seorang ayah saat menatap anaknya yang tidak naik kelas.

 “Kalau kamu sudah memutuskan, aku menunggumu di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah cakrawala. Matahari yang kemerahan malu-malu hendak terbenam.

Lelaki itu berdiri lalu mulai berjalan, dengan langkahnya yang besar-besar. Tidak berapa lama, dia sudah jauh meninggalkanku. Hanya siluetnya yang kini tampak jelas, noktah hitam pada cakrawala yang kemerahan.

     Aku ragu, akan melangkah maju atau kembali ke belakang. Tak ada peta, tak ada petunjuk jalan. Di kiri kanan hanya ada padang rumput sejauh mata memandang. Di depan dan belakang, jalanan lurus membentang, sempurna tanpa kelok, sampai cakrawala.

 Tak ada angin, tak ada suara kumbang. Hanya keheningan yang panjang dan dalam. Kadang keheningan seperti ini juga membuat perasaan tidak nyaman bahkan bikin sakit pendengaran.

     Kuperhatikan lagi ujung jempol kakiku, pada kuku yang mengilat terpantul wajah para sahabat, kekasih dan orang-orang yang pernah masuk lalu pergi lagi dalam hidupku.

 Apa kabar mereka semua sekarang? Apa mereka sudah menikah, beranak, mencicil rumah dan mobil? Atau mungkin mereka sudah jadi buruh migran? Memeras keringat dan menekuk tulang di tanah asing?

 Satu wajah membias. Arman. Teman sebangku waktu SMP dulu. Anak yang jenius dan pendiam. Dengar-dengar sekarang sudah jadi orang penting di pemerintahan. Muncul wajah lagi, seorang sahabat waktu SMA. Juniarto. Jago basket dan sangat bercita-cita jadi atlet, ada selentingan kabar sekarang sudah jadi bandar narkoba.Takdir memang sulit ditebak.

     Satu persatu wajah-wajah itu mulai semakin jelas nampak dan di kepalaku tercetus kenangan-kenangan yang pernah hadir. Dadaku gemuruh, emosi bercampur baur dalam waktu bersamaan. Aku tertawa sambil menangis, mengerutkan kening sambil menunduk malu. Perasaan-perasaan itu tiba-tiba saja meluap tanpa bisa aku bendung.

 Puncaknya, aku roboh karena tidak kuat menahan ledakan emosi yang bertubi-tubi. Rasa senang, marah, sedih, malu, bersalah, dan menyesal berganti-gantian hadir.

 “Nak.” Tiba-tiba aku mendengar suara yang aku hapal betul. Suara yang sudah bertahun-tahun aku rindukan. Suara yang selalu membuatku nyaman. Suara Ibu.

 Ada perasaan sejuk menjalar saat sesuatu menyentuh ubun-ubunku. Aku tengadah, mata memicing, mencoba memastikan wajah yang berderang menyilaukan.

 “Ibu,” kataku lirih.

 Wajah itu tersenyum.

     Aku lekas-lekas bangun dan hendak mencium tangannya, tapi lagi-lagi aku roboh dan memeluk kakinya. Aku menangis sesegukan.

 Sesuatu itu kembali membelai lembut kepalaku, hawa sejuk dan nyaman itu kembali menjalari seluruh tubuh. Aku ingin terus seperti ini, selamanya seperti ini. Aku ingin berada dalam pelukan Ibu.

 Air mataku tambah deras mengalir. Puncaknya tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku pingsan.

 Saat sadar, aku sudah ada dalam ruangan putih pucat yang berbau karbol. Aku ada di rumah sakit. Dengan selang yang berseliweran menembus tubuhku.

 Seorang perawat yang kebetulan ada di dekatku lekas-lekas mengecek keadaanku, memutar-mutar knob, menyentil-nyentil selang atau apalah yang aku tidak tahu lalu mencatat sesuatu pada kertas yang di bawanya. Setelah itu pergi ke luar.

 Aku yang masih syok dengan pengalaman barusan hanya bisa pasrah berbaring sambil menatap langit-langit ruangan. Mulut terasa kering dan seluruh sendi ngilu. Wajah Ibu kembali terbayang-bayang. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba meluap. Aku ingin bertemu Ibu.

 Semakin lekat aku tatap langit-langit kamar lama-lama warna putih pucat itu semakin buram.

 “Bagaimana, Nak? Sudah kamu putuskan?” tanya lelaki itu sekali lagi. Aku tersenyum kecut lalu mengangguk pelan.

 Dia lalu menggenggam tanganku. Jari-jarinya terasa dingin. Kami berjalan beriringan menuju cakrawala. Menuju matahari yang kemerahan.

 Aku menengok ke belakang, melihat bayangaku yang bergerak bergoyang-goyang. Sementara lelaki di sampingku itu tidak memiliki bayangan.

 

Dia Izrail.

 

Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang berasal dari dalam cerpen. Unsur-unsur yang meliputi tema, tokoh, alur cerita, latar belakang, sudut pandang dan amanat.

Tema

:

Perjalanan kematian

 

Latar belakang

:

Waktu: menjelang Magrib

Bukti: matahari kemerahan malu-malu hendak terbenam

Tempat: Rumah sakit

Bukti: aku ada di rumah sakit

Suasana: sepi

Bukti: hanya keheningan yang panjang dan dalam

Alur

:

campuran (maju dan mundur)

Bukti alur maju: saat sadar aku ada dalam ruangan putih

Bukti alur mundur : satu wajah membias Arman teman sebangku waktu SMP


Tokoh

:

Tokoh Protagonis yaitu tokoh dalam cerpen yang menajdi pemeran utama (Aku)

Bukti: aku yang masih syok dengan pengalaman barusan ….


Sudut pandang

:

Orang pertama tunggal karena menggunakan kata ganti orang pertama seperti “Aku”

Bukti: aku ragu akan melangkah maju atau kedepan

 Amanat                    :       Makna dalam cerpen ini menceritakan bahwa kita harus bisa menerima saat kematian menjelang apapun kondisi kita.

Unsur Ekstrinsik

Unsur Ekstrinsik adalah unsure yang ada di luar cerpen, dimana secara tidak langsung unsur ekstrinsik mempengaruhi proses pembuatan sebuah cerpen. Berikut unsur ekstrinsik dalam cerpen “separuh jalan menuju elisian”:

Latar belakang masyarakat

Untuk latar belakang masyarakat didalam cerpen tersebut di atas adalah masyarakat yang sangat menghormati orang tua, norma yang berlaku pada masyarakat tentang penerimaan bahwa kematian itu adalah ghoib dan tidak ada yang tahu kecuali orang yang didatangi takdir kematiannya.

Latar belakang penulis

Penulis memiliki keyakinan bahwa jika sudah waktunya maka akan pergi juga menghadap-Nya. Tanpa rasa sesal dan bersalah melangkahkan kaki ke menuju jalan ynag harus dilalui. Dengan pengambaran itu maka penulis diberi keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan-Nya.

Nilai yang terkandung dalam cerpen

Nilai Religi: bahwa bagaimanapun kegiatan kita apapaun kegiatan kita kalau sudah waktunya maka akan pergi juga, meskipun kita berontak dan berontak.

Nilai Moral: saat menjelang kita hanyan bisa mnyesali apa yang terjadi dan berharap diberi waktu namun semua percuma akrena akhirnya kita akan dengan kerelaaan pergi.

ternyata paling sulit untuk mengulas cerpen, harus benar-benar memahami dulu maksud cerpennya dan nilai yang terkandung. Maaf Uncle Ik saya mengulasnya belum sempurna.

#ODOP

#One Day One Post

#ODOP Challenge 6

Komentar