PROBLEM SOLVING-secara teori
sumber gambar: laduni.id |
Hidup ini adalah masalah, di dalam
menjalani hidup kita mengalami penuh dengan berbagai masalah. Oleh karena itu
problem solving atau memecahkan masalah merupakan sesuatu yang biasa dalam
hidup manusia. dalam memecahkan masalah seseorang sering harus melalui berbagai
langkah seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan
yang berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah pasti memerlukan
sebuah pemikiran. Jadi kebanyakan aktivitas pemecahan masalah itu melibatkan
proses berpikir.
Berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi di
dalam mental atau pikiran seseorang. Dalam hal ini representasi kognitif
dibedakan menjadi dua bagian yang bersifat kesinambungan:
1. Lower
order cognition (LOC). Ialah komponen-komponen yang terletak pada urutan awal
proses-proses kogitif dan masih bersifat lebih dangkal. Misalnya: persepsi,
pengenalan pola, dan ingatan.
2. Higher
order cognition (HOC). Ialah komponen-komponen yang terletak pada urutan akhir
atau lebih tinggi dari keseluruhan proses kognitif manusia. Misalnya: berpikir,
pembentukan konsep, penalaran, bahasa, pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah.
Jadi pemecahan masalah itu berada pada proses
kognitif yang tinggi (HOC). Sedangkan besar kecilnya tingkat keberhasilan
seseorang dalam melakukan pemecahan masalah dipengaruhi banyak faktor.
Pemecahan masalah oleh Evans
(1991) didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan
jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang
(present state) menuju kepada situasi yang diharapkan (future state atau
desired goal). Sedangkan menurut Hunsaker, pemecahan masalah didefinisikan
sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi
antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005). Salah
satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan
(decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari
sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan
mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Dari kedua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu
aktivitas pengambilan jalan keluar agar terjadi kesesuaian atara hasil yang
diperoleh sekarang dengan hasil yang diharapkan.
Ada beberapa tahapan penting atau langkah-langkah
penyelesaian di dalam problem solving. Hal itu dikemukakan oleh Dewey dalam
langkah-langkah berpikir reflektif yang sangat terkenal:
1. Kesadaran Atas Adanya Problema
Langkah
paling awal dalam memecahkan masalah adalah seseorang harus menyadari atas
adanya permasalahan. Dengan demikian maka individu akan merasa memiliki
kesukaran yang harus diselesaikan melalui tahap-tahap berikutnya.
2. Pemahaman Terhadap Problema
Setelah
dirasakan adanya problema maka yang perlu dilakukan adalah mendefinisikan
masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap
sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada
masalah sebenarnya, bukan pada gejala-gejala yang muncul. Untuk itu diperlukan
upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar masalah
dapat didefinisikan dengan tepat.
3. Memformulasi Hipotesa-hipotesa
Sepanjang
usaha dalam memahami problema, pengumpulan dan penilaian data-data, langkah
selanjutnya adalah menemukan hubungan-hubungan antara data-data dan menyusun
hipotesa. Dalam hal ini kita diharapkan dapat membuat banyak alternatif
solusi-solusi dalam memecahkan masalah agar dihasilkan solusi yang paling baik
dengan banyak pertimbangn dari berbagai alternatif tersebut. Hipotesa-hipotesa
ini harus bersifat fleksibel, tidak boleh kaku.
4. Mengevaluasi Hipotesa-hipotesa
Beberapa
ahli ilmu jiwa memberi tiga langkah di dalam mengevaluasi hipotesa yaitu:
Pertama, bahwa seseorang harus menentukan manakah kesimpulan yang sempurna yang
sekiranya cukup memberi kepuasan terhadap tuntutan problema. Kedua, seseorang
harus menemukan kesimpulan-kesimpulan mana yang sesuai dengan lain-lain fakta
dan pentingnya nanti bagi hasil keseluruhan. Ketiga, seseorang harus dengan
sengaja menguji terhadap kesimpulan-kesimpulan yang kurang meyakinkan yang
mungkin dapat membawa keragu-raguan terhadap pengambilan kesimpulan akhir.
5. Penerapan Cara Pemecahan Masalah
Penerapan
hipotesa dalam penyelesaian problema adalah langkah terakhir dari proses
problem solving dan dipergunakan sebagai penguji atas kebenaran cara penyelesaian
yang ditempuh. Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah,
kita perlu lebih sensitive terhadap kemungkinan terjadinya resistansi dari
orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hamper pada
semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang yang piawai dalam
melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan
meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh
orang-orang yang terkena dampak.
Pada dasarnya tata cara, prosedur atau strategi yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah ada dua macam:
1. Algoritmik
Adalah
suatu perangkat aturan atau tata cara yang dapat menjamin pemecahan suatu
masalah. Penemuan dengan strategi algoritmik (acak) adalah cara yang diaggap
paling primitif. Strategi ini dijalankan tanpa pengetahuan khusus yang dapat
membimbing seseorang ke arah pemecahan masalah. Cara ini boleh dikatakan trial
and error secara buta. Metode penemuan secara acak hanya efisien pada ruang
masalah yang sempit, sementara ruang permasalahan yang luas barangkali lebih
tepat jika digunakan pendekatan heuristik.
2. Heuristik
Pendekatan
heuristik dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan pengetahuan seseorang
untuk mengidentifikasi sejumlah jalan atau cara yang akan ditempuh dan dianggap
menjanjikan bagi penemuan pemecahan suatu masalah. Ada beberapa metode dalam
pendekatan heuristik yaitu:
Tiga hal penting yang merupakan ganjalan mental yang
menghalangi keberhasilan seseorang dalam proses pemecahan masalah, dua faktor
yang pertama sangat berkaitan dengan sikap mempertahankan gagasan lama yang
bisa menghambat munculnya gagasan baru, sementara itu, satu faktor terakhir
berkaitan dengan pembatasan gerak untuk mencari alternatif pemecahan masalah.
Ketiga faktor itu adalah:
1. Functional fixedness
Keterpakuan
fungsional berarti seseorang beranggapan bahwa fungsi dan kegunaan suatu objek
atau benda adalah cenderung stabil dan menetap sepanjang waktu. Dengan kata
lain, seseorang hanya memandang sesuatu benda berfungsi sebagaimana dirancang
atau diinginkan oleh pembuatnya.
2. Mental set
Fenomena
ini menunjuk pada kecenderungan orang untuk mempertahankan aktivitas mental
yang telah dilakukan secara berulang-ulang dan berhasil ketika ia menghadapi
masalah serupa namun dalam situasi baru atau berbeda. Hal ini boleh jadi tidak
sesuai lagi dan dapat mengakibatkan kegagalan.
3. Perceptual added frame
Penambahan
bingkai persepsual ini terjadi ketika orang yang menghadapi problem atau
masalah kemudian tanpa sadar seolah-olah ia melihat adanya bingkai tersamar
(pembatas) yang mengelilingi di sekitar problem tersebut. Padahal, sesungguhnya
bingkai itu tidak ada, dan hanya ada di dalam bayangan persepsi seseorang.
Bingkai tersemar ini kemudian membatasi gerak langkah orang tersebut dalam
mencari jalan keluar atas persoalan yang sedang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Kasijan, Z.
Psikologi Pendidikan. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.
Lasmahadi,
Arbono. www.e-psikologi.com. Jakarta, 2005.
MS, Suharnan.
Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi, 2005.
Nasution, S.
Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2006.
Komentar
Posting Komentar